Masyarakat Tepian Danau Toba Himbau Pempropsu Tinjau Ulang Perda Sumut Nomor : 1 Tahun 1990.

Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara menetapkan sebuah peraturan yang diharapkan dapat menyelamatkan dan melestarikan kawasan Danau Toba yakni Peraturan Daerah Nomor 1/1990 tentang Penataan Kawasan Danau Toba, antara lain ditetapkan larangan Mendirikan bangunan dipinggir pantai sejauh 50 meter dari bibir pantai (air), dilarang mendirikan bangunan yang dapat menghambat pandangan ke arah pantai, untuk penegakannya di lapangan Pemerintah Daerah diharapkan membuat patok atau pilar batas 50 meter di wilayah pantai masing-masing.

Menurut Pemerintah Provinsi Sumatera utara, penetapan Perda ini dilatarbelakangi oleh pembuangan limbah hotel, limbah kapal dan limbah rumah tangga dan penggunaan pestisida yang menggelora dalam berbagai usaha masyarakat langsung ke Danau Toba tanpa disadari berdampak pada pencemaran air Danau Toba dikhawatirkan semakin tinggi. Masyarakat di kawasan Danau Toba ketika itu belum menyadari bahwa air Danau Toba sudah tercemar, mereka tetap saja mengambil air minum dan mandi di Danau Toba, kendatipun terdengar issu bahwa pencemaran telah melewati ambang batas.

Jika kita melihat sedikit kebelakang sebelum di tetapkannya Perda Nomor 1/1990, Kawasan Danau Toba khususnya kota Parapat,Tigaraja, Tigaras dan Haranggaol di Simalungun, Tongging di Kabupaten Karo; Tomok, Tuktuk, Ambarita, Simanindo, Pangururan di Kabupaten Samosir beserta kawasan lainnya telah berkembang menjadi daerah tujuan wisata ditandai dengan banyaknya kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara, apalagi Parapat berada pada jalur lintas Sumatera-Jakarta via Tapanuli, maka tak ayal lagi waktu itu banyak berdiri hotel yang dikelola swasta dan pemerintah dari kelas melati hingga kelas bintang, rumah rumah penduduk yang juga dijadikan sebagai rumah tinggal wisatawan mancanegara. Berbagai usaha industri pariwisata pun tumbuh subur dikawasan pinggiran Danau Toba.

Pada waktu itu Kondisi pada tahun 1970-1980-an, pendirian bangunan yang menjamur di pinggir pantai belum ada aturan, kecuali aturan mengenai pendirian bangunan di kawasan perkotaan dan ibukota kecamatan dipersyaratkan 12 meter dari as jalan dan wajib memiliki ijin bangunan. Maka berdirilah hotel dan penginapan menghadap pantai diatas tanah milik pribadi atau tanah yang dibeli dari masyarakat, dan menurut para orangtua setempat sesuai aturan adat yang berlaku, pantai atau "kaki" tanah juga menjadi hak pemilik hotel/rumah hingga ke danau artinya pantai juga menjadi kawasan hotel yang kemudian ditembok dan dibuat dermaga kapal.

Banyak Hotel-hotel yang berdiri ketika itu persis di tepi pantai dan sampai sekarang masih ada Antara lain hotel Samosir, Hotel Danau Toba, Hotel Sibigo, Hotel Silintong, Toba Beach Hotel, Toledo Inn, Carolina Cottage, dan beberapa rumah penginapan di kawasan Tuktuksiadong serta di Pulau Tao Simanindo, Samosir. Bahkan perumahan penduduk pun banyak yang dibangun persis di tapi pantai.

Realita yang kita lihat pada waktu itu, dengan berkembangnya usaha industri pariwisata khususnya perhotelan mampu mendongkrak kunjungan wisatawan mancanegara di kawasan Danau Toba. Bahkan Danau Toba pada waktu itu menjadi objek wisata favorit bagi turis domestik maupun mancanegara.

Pada saat sekarang ini, kita jelas mengetahui program Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, bahkan pemerintah pusat menyebutkan bahwa untuk mendongkrak kembali kunjungan wisatawan di Sumut adalah dengan memajukan kawasan Pantai Barat termasuk kawasan Danau Toba. Kabupaten Samosir juga tidak tanggung-tanggung membuat visi-nya Mejadikan Kabupaten Pariwisata Tahun 2010, yang artinya Danau Toba merupakan salah satu objek kawasan wisata yang ingin dijual. Artinya kawasan Danau Toba sudah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional dan objek pariwisata nasional.

Berbicara mengenai pariwisata khususnya Danau Toba, setiap wisatawan pasti akan melihat Selain objek wisata yang dijual, keberadaan faktor penunjang seperti akomodasi menjadi faktor penting bahkan yang sangat vital. Dengan adanya akomodasi para turis akan dapat meluangkan waktunya lebih untuk tinggal di kawasan Danau Toba, yang tentunya Akomodasi ini harus dekat dikawasan tepi pantai.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pemberlakuan Perdasu No. 1/1990 tidak bertolak belakang dengan program/visi pemerintah?, sebelum pemberlakuan Perda ini apakah sudah lebih dulu dilakukan sosialisasi terhadap masyarakat?

Kita melihat masyarakat kawasan Danau Toba termasuk Samosir masih kuat dengan Hukum Adat. Jika kita melihat dengan jeli permasalahan di atas, Perda 1/1990 selayaknya sedah pantas direvisi. Perlu diatur didalamnya poin-poin tertentu yang tidak menuai pro dan kontra.

Untuk menghindari peningkatan ketinggian permukaan Danau Toba, kita masih punya PLTA Asahan, dengan memanfaatkan debit air danau toba, perusahaan ini malah semakin untung dengan menjual Arus Listrik yang surplus sehingga ketinggian Permukaan Danau Toba tetap stabil . Selain itu untuk menghindari pencemaran Danau Toba dari berbagai limbah Industri dan Rumah tangga maka perlu diatur dengan mewajibkan setiap Industri untuk tidak membuang limbah ke danau. Untuk perumahan penduduk diwajibkan supaya membuat WC/toilet supaya limbah rumah tangga tidak dibuang ke Danau. Artinya, peningkatan ketinggian permukaan air Danau Toba dan isu tentang pencemaran air Danau Toba bukan merupakan satu alasan pemberlakuan Perda ini.

Bagaimanapun juga, upaya penataan kawasan ini akan sangat berat dan sulit, dan tidak sekedar menegakkan peraturan melalui penerapan hukum, tetapi harus diperhatikan betapa perkembangan kehidupan masyarakat dan banyaknya usaha/perusahaan yang telah eksis seperti peternakan ikan/KJA, usaha transportasi/ferry, usaha peternakan di kawasan ini. Kita sangat yakin, pemerintah akan dapat mencari solusi dan menyelesaikan persoalan penataan kawasan Danau Toba tanpa ada yang merasa dirugikan atau diabaikan.

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com